Hajiumrahnews.com – Pemerintah memperketat perlindungan hak cipta di sektor komersial. Melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), ditegaskan bahwa seluruh pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik atau usaha—seperti hotel, restoran, pusat kebugaran, kafe, bahkan kantor layanan publik—wajib membayar royalti kepada pemilik hak cipta.
Penegasan ini disampaikan Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham, Agung Damarsasongko. Ia menjelaskan bahwa pemutaran musik melalui aplikasi berbayar seperti Spotify atau YouTube Premium tetap memerlukan izin tambahan jika digunakan dalam ruang usaha.
“Langganan personal tidak berlaku di ruang publik. Kalau digunakan untuk menarik pengunjung, ya harus ada izinnya. Royalti itu bentuk penghargaan atas karya orang lain,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Senin (29/7/2025).
Pemerintah menunjuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai badan resmi yang menghimpun dan menyalurkan royalti kepada para pencipta lagu. Tarif yang dikenakan berbeda-beda, tergantung jenis usaha dan luas ruangan. Misalnya, untuk restoran dengan kapasitas 50 kursi dikenakan royalti sebesar Rp6 juta per tahun. Ada juga kategori berdasarkan luas ruangan, seperti Rp720 per meter persegi per bulan.
Namun, kebijakan ini menuai beragam reaksi dari kalangan pelaku usaha, terutama sektor mikro dan menengah. Seorang pengelola di restoran di Serang, Banten yang enggan disebutkan namanya menyebutkan bahwa dirinya kaget karena tidak pernah mendapat informasi resmi sebelumnya.
“Jujur kami tahunya dari media. Belum ada sosialisasi teknis. Kalau harus bayar enam juta setahun hanya untuk memutar musik, itu cukup membebani buat usaha seperti kami,” tuturnya.
Ia juga menambahkan bahwa musik selama ini hanya digunakan sebagai pengisi suasana, bukan daya tarik utama. Namun ia mengakui pentingnya menghargai karya cipta dan berharap ada solusi bertahap dari pemerintah. “Kalau niatnya melindungi pencipta, kami setuju. Tapi beri kami waktu dan panduan yang jelas,” tambahnya.
Menanggapi hal tersebut, Agung menyebut pemerintah terbuka terhadap masukan dan sedang menyusun skema edukasi serta alternatif solusi, termasuk panduan penggunaan musik bebas royalti atau kerja sama langsung dengan musisi lokal. Pemerintah juga memberi opsi bagi pelaku usaha untuk tidak memutar musik sama sekali, atau menggunakan suara ambience agar terhindar dari kewajiban royalti.
“Kalau tidak ingin bayar royalti, jangan pakai musik. Tapi kalau pakai, ya hargai hak cipta. Ini bukan pungutan, ini bagian dari keadilan ekonomi,” kata Agung.
Pemerintah mengingatkan bahwa pelanggaran terhadap aturan ini bisa berujung pada sanksi, mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, hingga ancaman pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Dengan langkah ini, Kemenkumham berharap ekosistem musik Indonesia dapat tumbuh lebih adil dan sehat. Di saat yang sama, pelaku usaha diimbau untuk proaktif mencari informasi, menyesuaikan operasional usahanya, dan mulai mendaftar ke LMKN sebelum aturan ini diterapkan secara penuh di seluruh wilayah Indonesia.