Hajiumrahnews.com — Peluang keberangkatan haji melalui jalur visa furoda tampaknya akan segera berakhir. Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Mochammad Irfan Yusuf atau akrab disapa Gus Irfan menyampaikan bahwa Pemerintah Arab Saudi memberi sinyal kuat tidak akan lagi menerbitkan visa furoda bagi warga negara Indonesia. Hal itu disampaikannya dalam seminar nasional di Universitas YARSI, Jakarta, Rabu (30/7).
“Kalau yang disampaikan ke kami oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, kemungkinan nggak ada lagi haji furoda, tapi kan masih dinamik sekali,” ungkapnya. Ia menjelaskan bahwa dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, tidak ada lagi pengaturan khusus tentang furoda. Yang akan diatur ke depan hanyalah jalur haji non-reguler berbasis undangan, dengan tujuan utama perlindungan jamaah WNI di Tanah Suci.
Kepala BP Haji menegaskan bahwa skema haji undangan—yang dikenal sebagai visa mujamalah—masih mungkin dipertahankan. Namun jalur ini juga memerlukan pendataan dan pelaporan yang rapi agar tidak menimbulkan beban administratif dan diplomatik kepada pemerintah RI. Pasalnya, sering kali jamaah non-kuota berangkat tanpa sepengetahuan otoritas Indonesia.
Ia mengungkapkan, pada kasus umrah saja, terjadi selisih mencolok antara data Indonesia dan Arab Saudi. Di tanah air tercatat 1,4 juta jamaah umrah, namun di data Arab Saudi jumlahnya mencapai 1,8 juta. “Jadi ada 400 ribu yang kita nggak tahu berangkat dari mana. Kalau ada masalah di sana, pihak pertama yang dihubungi ya Kedutaan Besar kita. Tapi kita enggak punya datanya,” ujar Gus Irfan.
Polemik visa furoda sempat mencuat tajam pada musim haji 1446 H/2025 M. Banyak warga Indonesia yang gagal berangkat karena visa tak kunjung diterbitkan hingga batas akhir. Padahal, mereka telah membayar ratusan juta rupiah kepada pihak ketiga yang menjanjikan keberangkatan tanpa antrean. Praktik ini kerap dikaitkan dengan penyalahgunaan visa mujamalah—yang seharusnya berupa undangan resmi dari otoritas Arab Saudi kepada individu tertentu.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dalam tulisannya yang disiarkan Republika pada 7 Juni 2025 menyebutkan bahwa istilah furoda sebenarnya tidak dikenal secara resmi dalam sistem keimigrasian Arab Saudi. Istilah tersebut lahir dari praktik perdagangan visa yang ditangani pihak ketiga, yakni penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) di Tanah Air.
“Dari sinilah muncul 'perdagangan' visa furoda dengan tarif bervariasi, dari ratusan juta hingga mendekati miliaran rupiah. Ini dengan iming-iming dapat berhaji tanpa antre,” tulis LHS. Ia menyayangkan bahwa praktik ini membuat pemerintah Indonesia harus menangani berbagai persoalan hukum, sosial, dan keselamatan jamaah yang tidak tercatat secara resmi.
Dengan sinyal keras dari otoritas Saudi dan tekanan akuntabilitas publik di dalam negeri, pemerintah Indonesia kini dihadapkan pada pilihan tegas: memperketat skema keberangkatan non-kuota dan memastikan perlindungan menyeluruh bagi setiap jamaah, tanpa terkecuali. Jamaah pun diimbau waspada terhadap janji keberangkatan instan yang tak memiliki dasar resmi.