Gagasan Bank Haji dan Wakaf Nasional Bergaung Kembali, Sinergi Lintas Lembaga Jadi Kunci

Hajiumrahnews.com — Gagasan pembentukan Bank Haji dan Wakaf Nasional kembali mengemuka dalam Policy Dialogue bertajuk “Bank Haji & Wakaf: Asta Cita, Prospek dan Tantangan” yang digelar TV Tempo di Hotel Holiday Inn & Suites Gadjah Mada, Jakarta, Rabu (23/10/2025). Forum ini mempertemukan akademisi, regulator, dan praktisi keuangan syariah untuk merumuskan arah transformasi lembaga keuangan umat.

Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengembangan Ekosistem Ekonomi Haji dan Umrah Kementerian Haji dan Umrah, Jaenal Effendi, menegaskan bahwa inti dari transformasi Bank Haji dan Wakaf adalah membangun kepercayaan publik.

“Kita ingin menciptakan bank syariah yang menjadi kebanggaan masyarakat, bukan hanya kuat secara administrasi, tetapi juga berintegritas,” ujar Jaenal.

Menurutnya, kementerian tidak bisa berjalan sendiri. Karena itu, sinergi antar lembaga menjadi kunci untuk mewujudkan bank yang kredibel dan amanah. “Potensi Indonesia sangat besar karena hanya dua negara di dunia—Arab Saudi dan Indonesia—yang memiliki Kementerian Haji. Ini ceruk pasar yang belum tergarap,” tambahnya.

Sekretaris Badan Wakaf Indonesia (BWI), Anas Nasikhin, menawarkan model Bank Wakaf sebagai Special Mission Vehicle (SMV), yakni lembaga keuangan khusus yang berfungsi mempercepat pembiayaan wakaf produktif.

“Bank wakaf memiliki tiga fungsi utama: penjaminan, akselerator, dan pendanaan tidak langsung. Ini solusi agar aset wakaf bisa dikelola produktif tanpa melanggar prinsip syariah,” katanya.

Anas menambahkan, sumber pendanaan bisa berasal dari dana abadi, CSR, infak, hingga Sukuk Wakaf Linked (SWL). “Kuncinya adalah tata kelola dan transparansi agar publik kembali percaya pada potensi wakaf,” ujarnya.

Sementara itu, Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University, menilai pendirian Bank Haji baru bukan langkah paling efisien.

“Langkah realistis adalah memperkuat bank syariah yang sudah menjadi BPS-BPH, sekaligus meningkatkan kapasitas investasi BPKH,” tuturnya.

Ia menilai, dua jalur dapat ditempuh: menjadikan bank syariah sebagai nazir wakaf melalui regulasi Kementerian Agama, atau mengonversi Bank Muamalat menjadi Bank Wakaf Nasional. “Konversi Bank Muamalat bisa jadi quick win karena modal sosial dan sejarahnya sudah sesuai,” ucapnya.

Dari sisi pemerintah, Dwi Irianti Hadiningdyah dari Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menyoroti potensi wakaf uang yang mencapai Rp180 triliun per tahun, namun baru 11 persen yang tergarap.

“Kami bersama BI, Kemenkeu, dan BWI sedang menyiapkan lembaga pembiayaan infrastruktur berbasis wakaf untuk memperkuat nazir dan menggerakkan aset wakaf produktif,” jelasnya.

Dwi menegaskan, penguatan ekonomi wakaf sejalan dengan RPJPN 2025–2029, yang menempatkan keuangan sosial syariah sebagai pilar pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan umat.

Adapun Direktur Utama Bank Muamalat, Imam Teguh Saptono, menyatakan kesiapan banknya untuk berperan sebagai Bank Haji sekaligus Bank Wakaf Nasional.

“Bank Muamalat lahir dari gerakan umat dan modal jemaah haji. Sejak awal 1990-an, dana haji sudah menjadi bagian dari sejarah kami,” katanya.

Ia menekankan pentingnya regulasi baru agar indikator kinerja bank syariah tidak disamakan dengan bank konvensional. “Regulasi baru harus mengakomodasi nilai sosial, bukan hanya profitabilitas,” ujar Imam.

Para pembicara sepakat, pembentukan bank haji dan wakaf tidak harus dimulai dari nol.

“Cukup tambahkan satu pasal: bank syariah dapat menjadi nazir wakaf dan mengelola cash waqf. Itu quick win yang strategis tanpa membebani APBN,” kata Jaenal.

Forum tersebut menjadi bagian dari agenda besar membangun ekosistem haji dan wakaf terpadu, menggabungkan kepentingan publik, lembaga keuangan syariah, serta peran media dan akademisi. Sinergi lintas sektor diharapkan memperkuat posisi Indonesia sebagai pusat keuangan sosial Islam terbesar di dunia.