Hajar Aswad antara Akidah dan Sains, Batu Surga yang Menyimpan Misteri Geologis

Hajiumrahnews.com — Hajar Aswad bukan sekadar batu hitam yang tertanam di sudut timur Ka'bah. Bagi umat Islam, ia merupakan batu mulia dari surga yang memiliki kedudukan istimewa dalam ritual haji dan umrah. Namun, di balik kemuliaan spiritual tersebut, Hajar Aswad juga menyimpan teka-teki ilmiah yang menarik perhatian para peneliti modern.

Setiap musim haji dan umrah, jutaan jemaah dari berbagai penjuru dunia berusaha mendekat, mencium, atau setidaknya menyentuh Hajar Aswad. Amalan ini dilakukan sebagai bentuk ittiba’ kepada sunnah Rasulullah SAW dan ekspresi cinta kepada simbol-simbol suci Islam.

Asal-Usul Hajar Aswad dalam Akidah Islam

Dalam tradisi dan akidah Islam, asal-usul Hajar Aswad dijelaskan secara tegas. Batu tersebut diyakini diturunkan dari surga oleh Malaikat Jibril AS dan diberikan kepada Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS ketika membangun Ka'bah.

Rasulullah SAW bersabda, “Hajar Aswad turun dari surga. Warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adam-lah yang menjadikannya hitam” (HR Tirmidzi). Hadis ini menjadi landasan utama keyakinan umat Islam bahwa perubahan warna Hajar Aswad memiliki makna spiritual, bukan sekadar proses fisik.

Ketertarikan Sains Modern

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, para ilmuwan geologi dan astronomi mencoba mengkaji Hajar Aswad dari sisi empiris. Istilah “turun dari langit” dalam kajian sains kerap dikaitkan dengan meteorit, yakni benda langit yang menembus atmosfer bumi dan jatuh ke permukaan.

Hipotesis bahwa Hajar Aswad berasal dari meteorit menjadi salah satu teori ilmiah yang paling banyak dibahas. Dugaan ini diperkuat oleh fakta bahwa wilayah Jazirah Arab memiliki sejarah geologis jatuhnya benda-benda langit pada masa lampau.

Teori Meteorit dan Kawah Wabar

Salah satu kajian ilmiah yang sering dirujuk berasal dari E. Thomsen pada 1980 melalui tulisannya New Light on the Origin of the Holy Black Stone of the Ka'ba. Thomsen mengaitkan Hajar Aswad dengan penemuan Kawah Wabar di wilayah Rub’ al Khali, Arab Saudi, yang ditemukan oleh penjelajah Harry St John Philby pada 1932.

Kawah tersebut diyakini sebagai bekas tumbukan meteorit besar. Di sekitarnya ditemukan pecahan batuan hasil peleburan pasir gurun dan silika akibat panas ekstrem, bercampur unsur besi dan nikel.

Menurut Thomsen, batuan di kawasan Wabar memiliki struktur khas: bagian dalam berwarna putih cerah, sementara bagian luar diselimuti lapisan hitam akibat oksidasi logam saat terjadi tumbukan. Karakteristik ini dinilai memiliki kemiripan dengan kondisi fisik Hajar Aswad.

Ia bahkan menyimpulkan, “Batu meteor itu kemungkinan batu yang sama dengan Hajar Aswad.” Bintik-bintik putih yang masih terlihat pada permukaan Hajar Aswad disebut-sebut sebagai sisa inti batuan tersebut.

Perdebatan Ilmiah yang Masih Berlangsung

Meski teori meteorit dinilai menarik, konsensus ilmiah belum sepenuhnya tercapai. Sejumlah geolog mengemukakan keberatan, antara lain sifat Hajar Aswad yang pernah pecah serta riwayat yang menyebut batu ini dapat mengapung di air. Karakteristik tersebut dinilai tidak sejalan dengan sifat meteorit besi yang umumnya padat dan berat.

Sebagian peneliti menduga Hajar Aswad lebih mendekati jenis batuan impactite atau material hasil tumbukan, bukan meteorit besi murni. Hingga kini, keterbatasan akses ilmiah terhadap Hajar Aswad membuat penelitian langsung sulit dilakukan.

Terlepas dari perdebatan ilmiah, umat Islam meyakini bahwa kemuliaan Hajar Aswad tidak bergantung pada asal-usul fisiknya. Batu ini dimuliakan karena perintah syariat dan teladan Rasulullah SAW, bukan karena komposisi geologisnya.

Kajian sains justru dapat dipahami sebagai upaya manusia membaca tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Apakah Hajar Aswad datang melalui peristiwa kosmik atau diturunkan langsung oleh malaikat, esensinya tetap sama: ia adalah simbol ketaatan, saksi bisu jutaan doa, dan pengingat hubungan hamba dengan Sang Pencipta.

Wallahu a’lam bishawab.