
Hajiumrahnews.com, Jakarta — Indonesia sejatinya tidak kekurangan talenta maupun ide brilian. Setiap tahun, ribuan inovasi lahir dari kampus dan lembaga penelitian. Namun, hanya segelintir yang benar-benar sampai ke masyarakat atau diterapkan industri. Sisanya kandas di laboratorium—fenomena yang dikenal sebagai valley of death atau jurang maut inovasi.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), misalnya, tercatat memiliki hampir 600 paten. Ironisnya, hanya sekitar 10 paten yang pernah dilisensikan ke industri. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa riset Indonesia selalu sulit menembus pasar?
Penyebabnya berlapis: kebijakan riset yang tidak konsisten, regulasi yang kerap berubah, minimnya offtaker dari sektor industri, hingga kampus yang lebih fokus pada publikasi akademik ketimbang komersialisasi.
Pemerintah sebenarnya mencoba menjembatani jurang maut inovasi dengan program seperti Matching Fund Kedaireka. Tahun 2021, ada 427 proposal yang dibiayai, jumlahnya melonjak jadi 1.093 proposal pada 2022. Indeks kolaborasi universitas–industri pun naik, dan peringkat Global Innovation Index Indonesia terdongkrak dari posisi 87 (2021) ke 61 (2023). Namun kritik muncul karena banyak kolaborasi hanya berhenti di atas kertas—sekadar seminar, proposal, atau pilot project—tanpa keberlanjutan nyata.
Meski anggaran riset meningkat dari Rp6,46 triliun (2022) menjadi Rp9,38 triliun (2023), kontribusinya ke PDB hanya 0,31%. Angka ini jauh tertinggal dari Singapura (2,2%) atau Korea Selatan (4,5%). Industri nasional cenderung memilih membeli teknologi asing ketimbang membiayai riset domestik.
Padahal, kisah sukses iPhone hingga model Australia menunjukkan bahwa kunci keberhasilan ada pada kolaborasi erat antara pemerintah, kampus, dan industri. Indonesia sudah mulai bergerak lewat program Merdeka Belajar–Kampus Merdeka (MBKM) yang kini bertransformasi menjadi Diktisaintek Berdampak. Data Kemdikbudristek menyebut 1,55 juta mahasiswa ikut program ini sejak 2019, dan terbukti lebih cepat terserap pasar.
Namun relasi kampus–industri di Indonesia masih dangkal. Seringkali hanya sebatas penandatanganan MoU tanpa eksekusi. Alhasil, transfer pengetahuan, magang bermakna, hingga riset bersama tidak berjalan optimal.
Para pakar menilai ada tiga jalan utama untuk mempersempit jurang maut inovasi:
Mengunci pengguna sejak awal — riset dimulai dari kebutuhan pengguna, bukan sekadar tawaran teknologi.
Menyamakan bahasa kampus dan industri — misalnya lewat Industry PhD atau co-creation kurikulum.
Pemerintah jadi pembeli pertama — dengan skema e-catalog Inovasi Indonesia agar produk riset bisa langsung dipakai di lapangan.
Tanpa keberanian menata ulang ekosistem, ribuan riset dan paten berpotensi terus mati muda, dan Indonesia akan terus kehilangan nilai tambah yang seharusnya bisa mendorong ekonomi nasional.