
Hajiumrahnews.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi telah menerima pengembalian dana hampir Rp100 miliar terkait kasus dugaan korupsi dalam penentuan dan penyelenggaraan kuota haji tahun 2023–2024 di Kementerian Agama (Kemenag).
“Kalau ratusan miliar mungkin belum. Kalau puluhan miliar, mungkin sudah mendekati seratus,” ujar Ketua KPK Setyo Budiyanto di Kantor Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Senin (6/10).
Setyo belum menyebut secara detail pihak-pihak yang telah mengembalikan dana tersebut, namun memastikan KPK akan terus menelusuri aset yang diduga berkaitan dengan perkara ini.
“Pasti akan kami kejar semaksimal mungkin selama memang terinformasi bahwa ada aset, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang merupakan rangkaian dalam perkara,” tegasnya.
Kasus korupsi kuota haji ini mulai disidik sejak 9 Agustus 2025, tidak lama setelah KPK memeriksa mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 7 Agustus. Lembaga antirasuah juga berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung total kerugian negara.
Pada 11 Agustus, KPK menyebutkan kerugian negara diperkirakan lebih dari Rp1 triliun. Hingga kini, tiga orang telah dicegah ke luar negeri, termasuk Yaqut.
Dari hasil penyidikan, KPK menduga ada 13 asosiasi dan sekitar 400 biro perjalanan haji yang terlibat dalam praktik penyalahgunaan kuota haji. Dugaan korupsi bermula dari kuota tambahan sebesar 20.000 jemaah yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk Indonesia.
Kuota tersebut kemudian dibagi rata — masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus — yang dinilai melanggar Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, di mana seharusnya komposisi yang sah adalah 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
Selain penyidikan oleh KPK, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI juga tengah melakukan investigasi paralel terhadap dugaan pelanggaran dalam penyelenggaraan haji 2024.
Pansus ini dibentuk untuk menelusuri lebih jauh keterlibatan pejabat dan asosiasi biro perjalanan dalam penentuan kuota tambahan serta aliran dana yang diduga menjadi “upeti” pembagian kuota.
Kasus ini menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah pengelolaan ibadah haji di Indonesia, dengan nilai kerugian mencapai lebih dari Rp1 triliun, dan menandai pentingnya reformasi total tata kelola haji agar transparan, akuntabel, dan bebas praktik korupsi.