Rahasia Kemakmuran Umat Islam di Masa Abbasiyah: Bukan Minyak, Tapi Ilmu Ekonomi

Hajiumrahnews.com - Peradaban Islam tidak hanya dikenal karena kemajuan dalam ilmu agama dan sains, tetapi juga karena kontribusinya yang besar terhadap lahirnya sistem ekonomi yang berkeadilan. Sejarah mencatat, ekonomi Islam mulai terbangun sejak masa Nabi Muhammad SAW di Madinah, saat beliau menata sistem sosial, perdagangan, dan zakat sebagai pilar utama kesejahteraan umat.

Setelah Rasulullah SAW wafat, para khalifah seperti Abu Bakar As-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib melanjutkan sistem ekonomi berbasis keadilan sosial. Konsep keuangan publik, distribusi zakat, dan pengawasan pasar menjadi bagian penting dari kebijakan pemerintahan mereka.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, ekonomi Islam berkembang pesat berkat peran para ulama, hakim, dan cendekiawan yang menulis berbagai karya monumental.

Abu Yusuf: Peletak Dasar Keuangan Publik Islam

Salah satu tokoh paling berpengaruh adalah Abu Yusuf (731–798 M), murid dari Imam Abu Hanifah. Ia menjabat sebagai hakim agung (qadhi al-qudhat) di masa Khalifah Harun ar-Rasyid (786–809 M) dan menulis kitab berjudul Al-Kharaj.

Kitab ini disusun atas permintaan khalifah sebagai panduan fiskal negara, membahas secara sistematis tentang pendapatan, pengeluaran, dan prinsip keadilan dalam kebijakan pajak. Al-Kharaj juga menjadi rujukan bagi para pemikir setelahnya, seperti Yahya bin Adam dan Qudama ibn Ja’far al-Katib yang menulis karya serupa, meski tidak selengkap versi Abu Yusuf.

Al-Mawardi dan Tata Kelola Pemerintahan

Tokoh penting berikutnya adalah al-Mawardi (972–1058 M), seorang hakim besar pada masa Khalifah al-Qoim bi Amrillah. Ia menulis karya monumental Al-Ahkam as-Sulthoniyah, yang tidak hanya membahas sistem politik, tetapi juga manajemen fiskal negara.

Al-Mawardi menjelaskan peran hisbah sebagai lembaga pengawasan pasar dan tata niaga. Dalam pandangannya, keadilan ekonomi hanya bisa tercapai jika pemerintah mampu menjaga keseimbangan antara pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat.

Al-Syaibani dan Perspektif Mikro Ekonomi

Pemikir lainnya, Al-Syaibani (750–804 M), juga turut memperkaya khazanah pemikiran ekonomi Islam melalui karyanya Kitab al-Iktisab. Ia menguraikan prinsip ekonomi mikro seperti konsumsi, produksi, dan distribusi.

Al-Syaibani membagi sumber pendapatan ke dalam empat sektor utama, yaitu jasa, industri, pertanian, dan perdagangan. Pemikirannya menunjukkan bahwa ekonomi Islam sudah membahas aspek-aspek praktis jauh sebelum ekonomi modern muncul.

Abu Ubaid dan Konsep Harta dalam Islam

Abu Ubaid (w. 838 M) juga meninggalkan warisan penting lewat karyanya Al-Amwal (Harta). Buku ini membahas pengelolaan harta dari sisi makro dan mikro, termasuk sumber kekayaan negara, zakat, sedekah, dan pajak.

Menariknya, Abu Ubaid tidak hanya menulis secara teoritis, tetapi juga menyertakan sanad hadis dan dokumen resmi khalifah sebagai referensi historis. Hal ini menjadikan Al-Amwal sebagai karya yang bernilai akademik tinggi sekaligus praktis bagi pengelolaan ekonomi negara.

Mazhab dan Ragam Pemikiran Ekonomi Islam

Pemikiran para ulama mazhab juga turut membentuk kerangka ekonomi Islam. Abu Yusuf mengikuti pendekatan Imam Hanafi yang rasional dan kontekstual melalui metode qiyas dan istihsan.

Mazhab Maliki lebih menekankan pada amalan penduduk Madinah sebagai dasar hukum ekonomi, sedangkan Imam Syafii berusaha memadukan rasionalitas dengan keteguhan hadis. Sementara mazhab Hambali, seperti yang diikuti oleh Abu Ya’la al-Fara (988–1066 M), lebih ketat pada sumber hadis dan menulis karya serupa dengan Al-Ahkam as-Sulthoniyah versi mazhabnya.

Perbedaan pendekatan ini memperkaya khazanah ekonomi Islam dan menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dalam menjawab tantangan zaman.

Puncak Kemajuan Ekonomi Umat

Pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, kemakmuran ekonomi umat Islam mencapai puncaknya. Urbanisasi meningkat, perdagangan lintas kawasan berkembang, dan kota-kota seperti Baghdad, Damaskus, dan Kairo tumbuh menjadi pusat ekonomi dunia.

Pemikiran para ulama pada masa itu tidak hanya relevan untuk zamannya, tetapi juga menjadi fondasi bagi sistem ekonomi modern berbasis etika dan keadilan sosial.

Ekonomi Islam tidak sekadar tentang transaksi keuangan, tetapi tentang menegakkan keseimbangan antara hak individu dan kemaslahatan masyarakat—sebuah konsep yang hingga kini tetap menjadi ruh pembangunan ekonomi umat.