
Hajiumrahnews.com – Di tengah meluasnya penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang kian menyerupai kemampuan manusia, Muhammadiyah hadir dengan panduan moral bernama Fikih Informasi. Dokumen ini menuntun umat Islam agar tidak kehilangan arah kemanusiaannya di era digital.
Fikih Informasi pertama kali dibahas dalam Musyawarah Nasional XXX Tarjih di Makassar pada 2018, lalu ditanfidzkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada 2025. Meskipun belum secara eksplisit menyinggung AI, nilai-nilai yang dikandungnya tetap relevan untuk menjawab tantangan zaman.
“Fikih Informasi berangkat dari prinsip Ketauhidan. Pengetahuan dan teknologi adalah amanah, bukan sumber kesombongan manusia,” tertulis dalam dokumen resmi tersebut. Prinsip ini menegaskan bahwa kecerdasan buatan tidak boleh menyaingi peran Tuhan sebagai sumber ilmu.
Dari kesadaran itu lahirlah akhlak mulia, yang menjadi fondasi etika digital. “Jika manusia menanamkan kebajikan, teknologi akan menebarkan manfaat. Jika menanamkan kebohongan, teknologi akan melipatgandakannya,” demikian penjelasan dalam bab akhlak.
Fikih Informasi juga menyoroti pentingnya keadilan dalam penggunaan data dan algoritma. Dunia digital, kata dokumen itu, sering kali menyembunyikan ketimpangan di balik logika mesin. Karena itu, prinsip tabayyun—memeriksa kebenaran informasi—menjadi sikap dasar dalam menghadapi arus data yang deras.
Ayat-ayat Al-Qur’an seperti QS al-Ḥujurāt [49]:6 dan QS al-Nisā’ [4]:58 menjadi landasan etika berhati-hati dan menjaga amanah dalam setiap aktivitas digital. “Menjaga data berarti menjaga kehormatan manusia,” tulisnya.
Fikih Informasi juga menegaskan prinsip lā ḍarara wa lā ḍirār—tidak menimbulkan bahaya dan tidak saling mencelakakan—sebagai pedoman praktis dalam penggunaan teknologi. “Banyak hal bisa dilakukan dengan kecerdasan buatan, tapi tidak semuanya pantas dilakukan,” tegas dokumen itu.
Di akhir, Muhammadiyah menutup panduan ini dengan konsep Mas’uliyyah atau tanggung jawab moral manusia atas segala keputusan digital. “Mesin bisa berpikir, tetapi tidak bisa menyesal. Mesin bisa memutuskan, tetapi tidak bisa berdoa,” demikian tertulis dalam penutup.
Pesan utamanya jelas: kecerdasan buatan hanyalah alat. Kemanusiaan tetap terletak pada kemampuan untuk menyesal, memaafkan, dan berdoa—wilayah spiritual yang tak mungkin digantikan algoritma.