
Hajiumrahnews.com – Jemaah umrah yang berangkat secara mandiri tetap wajib melaporkan diri kepada pemerintah melalui sistem Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj). Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, sebagai bentuk upaya negara untuk menjaga perlindungan dan pengawasan terhadap seluruh jemaah umrah asal Indonesia.
“Kami di Panja memandang penting untuk memastikan bahwa setiap WNI yang melaksanakan umrah mandiri tetap mendapatkan perlindungan dan pengawasan negara, baik dari aspek keselamatan, keimigrasian, maupun kepulangan ke Tanah Air,” ujar Selly, Jumat (24/10/2025).
Menurutnya, pelaksanaan umrah mandiri bukan berarti jemaah dapat berangkat tanpa pantauan negara. Setiap jemaah tetap wajib melaporkan diri melalui sistem yang terintegrasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi.
“Artinya, meskipun bersifat mandiri, jemaah tetap wajib melaporkan diri kepada negara melalui sistem atau aplikasi yang terintegrasi antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Arab Saudi,” jelasnya. Dengan mekanisme pelaporan ini, pemerintah dapat memberikan pelayanan atau bantuan darurat dengan cepat apabila terjadi situasi yang tidak diinginkan terhadap jemaah.
Anggota Panja Revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) itu juga mengingatkan bahwa pemerintah Arab Saudi kini memperketat pengawasan terhadap jemaah, mulai dari penerbitan visa, izin tinggal, hingga lokasi penginapan dan aktivitas selama di Mekkah maupun Madinah.
“Maka dari sisi Indonesia, yang perlu kita perkuat adalah instrumen pengaturan dan pengawasan di dalam negeri. Di sinilah peran Kemenhaj untuk segera menindaklanjuti ketentuan dalam undang-undang tersebut dengan peraturan pemerintah atau peraturan menteri yang lebih perinci,” kata Selly.
Ia menambahkan, regulasi turunan itu harus memuat tata cara pelaporan jemaah umrah mandiri, mekanisme koordinasi lintas kementerian dan lembaga—termasuk Kementerian Luar Negeri, Ditjen Imigrasi, KJRI, dan Kementerian Perhubungan.
Selain itu, Selly berharap aturan tersebut mencakup skema perlindungan hukum dan keselamatan jemaah selama berada di Tanah Suci. “Setiap ibadah umrah harus tetap berada dalam koridor aman, tertib, dan bermartabat, sejalan dengan nilai-nilai gotong royong dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa semangat utama yang ingin dibangun dalam kebijakan ini adalah perlindungan negara terhadap warga negara, bukan liberalisasi penyelenggaraan ibadah. “Jadi, semangat yang kami dorong adalah perlindungan negara terhadap warganya, bukan liberalisasi penyelenggaraan ibadah,” pungkas Selly.

Diberitakan sebelumnya, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Salah satu poin penting dalam revisi tersebut adalah diperbolehkannya ibadah umrah dilakukan secara mandiri, tanpa melalui biro perjalanan atau Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU).
Dalam Pasal 86 UU PIHU yang baru, perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan melalui tiga cara: lewat PPIU, secara mandiri, atau melalui menteri dalam kondisi luar biasa. Ketentuan “secara mandiri” ini merupakan hal baru yang tidak ada dalam versi lama UU tahun 2019, di mana umrah hanya bisa dilakukan melalui PPIU atau pemerintah.
Berikut perbandingan isi pasal yang mengalami perubahan:
UU Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 86:
Perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan secara perseorangan atau berkelompok melalui PPIU.
Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU.
Selain oleh PPIU, penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah dapat dilakukan oleh Pemerintah.
Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah yang dilakukan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan jika terdapat keadaan luar biasa atau kondisi darurat.
Keadaan luar biasa atau kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Presiden.
UU Nomor 14 Tahun 2025 Pasal 86:
Perjalanan Ibadah Umrah dilakukan:
a. melalui PPIU;
b. secara mandiri; atau
c. melalui Menteri.
Penyelenggaraan perjalanan Ibadah Umrah melalui Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan jika terdapat keadaan luar biasa atau kondisi darurat.
Keadaan luar biasa atau kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden.
Dengan perubahan ini, pemerintah menegaskan kembali pentingnya pengawasan dan perlindungan terhadap jemaah umrah mandiri, agar setiap WNI yang beribadah di Tanah Suci tetap berada dalam perlindungan hukum dan pengawasan negara.