
Hajiumrahnews.com — Baru beberapa bulan berdiri, Kementerian Haji dan Umrah mendapat sorotan publik. Lembaga ini resmi dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyimpangan dalam tender pelayanan haji tahun 2026.
Laporan tersebut disampaikan oleh Masyarakat Pemerhati Haji (MPH) ke Direktorat Pelayanan Laporan Pengaduan Masyarakat (PLPM) KPK, Rabu (8/10).
“Kami di sini melaporkan Kementerian Haji dan Umrah,” ujar Ketua MPH Nu’man Fauzi, usai menyerahkan laporan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Menurut Nu’man, dugaan penyimpangan terjadi karena perusahaan penyedia layanan (syarikah) yang ditunjuk pemerintah dalam tender haji 2026 merupakan pihak yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berganti nama perusahaan.
“Syarikah yang sekarang jadi pemenang itu ternyata pelayan-pelayan lama, cuma berganti baju saja,” jelasnya.
MPH menilai kebijakan tender tersebut tidak mencerminkan reformasi nyata dalam tata kelola haji, sebab tetap memberi ruang bagi pihak lama tanpa proses evaluasi yang transparan.
Nu’man juga menyinggung masih adanya kasus jamaah terlantar, yang menurut laporan mencapai sekitar 400 orang dalam pelaksanaan haji sebelumnya.
“Kalau yang dilaporkan kepada kami, jamaah yang terlantar itu bukan sedikit,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Haji dan Umrah mengumumkan skema baru pengelolaan layanan haji 2026, dengan hanya menunjuk dua perusahaan (syarikah) sebagai penyedia utama:
Rakeen Mashariq Al Mutamayizah Company for Pilgrim Service
Albait Guest
Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari reformasi besar dalam sistem pelayanan haji berbasis syarikah, dengan tujuan efisiensi dan transparansi.
Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan langkah ini terbukti menekan biaya layanan hingga lebih dari 200 riyal per jamaah.
“Dari sebelumnya 2.300 riyal, tahun ini menjadi 2.100 riyal — tanpa pungli dan tanpa manipulasi,” jelas Dahnil di Jakarta, Selasa (30/9).
Dahnil menjelaskan, dari lebih 150 syarikah yang mengikuti proses seleksi, jumlahnya disaring secara ketat menjadi 50, lalu 20, hingga empat finalis, sebelum akhirnya ditetapkan dua pemenang.
Selain efisiensi, Kementerian juga memperkenalkan sistem kontrak multi-tahun selama tiga tahun, agar tidak terjadi praktik manipulasi dan negosiasi berulang setiap musim haji.
“Kontrak tidak lagi tahunan, tetapi langsung tiga tahun. Ini untuk mencegah praktik-praktik manipulasi dan umpan balik negatif dalam proses lelang,” katanya.
Dahnil menegaskan, kebijakan ini merupakan langkah awal menuju reformasi menyeluruh tata kelola haji dan umrah, dengan prinsip profesionalisme, efisiensi, dan akuntabilitas.
Meski demikian, laporan MPH ke KPK menunjukkan bahwa reformasi yang dijanjikan belum sepenuhnya dipercaya publik.
Mereka berharap KPK menindaklanjuti dugaan maladministrasi agar pelaksanaan haji 2026 benar-benar bersih dari praktik lama.
Kasus ini menambah daftar panjang isu tata kelola haji di Indonesia, di tengah upaya pemerintah membangun sistem baru melalui pembentukan Kementerian Haji dan Umrah.