
Hajiumrahnews.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil dua petinggi Koperasi Amphuri Bangkit Melayani sebagai saksi dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi (TPK) kuota haji tahun penyelenggaraan 2023–2024.
Keduanya adalah Joko Asmoro, Ketua Koperasi Amphuri Bangkit Melayani, dan Fandi, selaku Bendahara koperasi tersebut. Pemeriksaan dijadwalkan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Selasa (14/10/2025).
“Hari ini, KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait kuota haji untuk penyelenggaraan ibadah haji Indonesia tahun 2023–2024,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan di Jakarta.
Ia menambahkan, materi pemeriksaan terhadap para saksi akan diungkap setelah pemeriksaan selesai dilakukan.
KPK sebelumnya telah menaikkan status penanganan kasus dugaan korupsi kuota haji ke tahap penyidikan sejak 8 Agustus 2025, berdasarkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum. Meski begitu, hingga kini lembaga antirasuah tersebut belum menetapkan tersangka.
“Tim penyidik masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap sejumlah saksi dan pihak terkait. Penetapan tersangka akan diumumkan setelah alat bukti dinilai cukup,” jelas sumber internal KPK.
Nilai kerugian negara dalam perkara ini diperkirakan lebih dari Rp1 triliun.
Kasus ini bermula dari tambahan 20.000 kuota haji yang diberikan Pemerintah Arab Saudi kepada Indonesia usai pertemuan antara Presiden Joko Widodo dan otoritas Saudi pada 2023.
Tambahan kuota tersebut kemudian diatur melalui Surat Keputusan Menteri Agama (SK Menag) tertanggal 15 Januari 2024 era Menteri Yaqut Cholil Qoumas, yang membagi tambahan tersebut menjadi dua kategori:
10.000 kuota haji reguler, dan
10.000 kuota haji khusus.
Dari total kuota khusus, sebanyak 9.222 dialokasikan untuk jemaah dan 778 untuk petugas, dengan pengelolaan diserahkan kepada biro travel swasta melalui asosiasi penyelenggara haji dan umrah.
KPK menemukan indikasi adanya praktik jual beli kuota melalui setoran dana dari perusahaan travel kepada oknum pejabat Kementerian Agama. Nilai setoran tersebut berkisar antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per kuota, atau setara Rp41,9 juta hingga Rp113 juta.
Pembagian kuota tambahan ini diduga melanggar Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, yang mengatur komposisi kuota haji 92 persen untuk reguler dan 8 persen untuk khusus.
KPK mencatat, sedikitnya 13 asosiasi penyelenggara dan sekitar 400 biro travel ikut terlibat dalam mekanisme distribusi tersebut. Dana hasil transaksi disebut-sebut mengalir ke sejumlah pejabat dan pihak terkait dalam bentuk komitmen pembagian kuota tambahan.
Sebagai bagian dari proses penyidikan, KPK telah menyita dua rumah mewah di kawasan Jakarta Selatan senilai sekitar Rp6,5 miliar. Aset itu diduga dibeli oleh seorang pegawai Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Kementerian Agama menggunakan dana setoran pengusaha travel.
Langkah penyitaan dilakukan pada Senin (8/9/2025) setelah penyidik menelusuri aliran dana yang disebut berasal dari hasil transaksi kuota haji tambahan.
KPK menegaskan akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas, termasuk menelusuri keterlibatan pihak lain baik di lingkungan kementerian maupun asosiasi penyelenggara ibadah haji.