Revisi UU Haji dan Umrah Dinilai Mendesak demi Perlindungan Jemaah

Hajiumrahnews.com, Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah kini tengah dibahas di DPR RI. Revisi ini dipandang penting agar regulasi haji lebih adaptif, fleksibel, dan mampu memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi jemaah.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Abidin Fikri, menyatakan bahwa revisi menyasar sejumlah substansi yang berkaitan langsung dengan kemaslahatan jemaah. Salah satunya adalah rencana menjadikan penyelenggara haji lembaga setingkat kementerian yang bersinergi dengan otoritas Arab Saudi terkait Visi 2030. “Penyelenggaranya harus setingkat menteri dan wajib sinergi dengan visi Arab Saudi 2030,” ujar Abidin dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Selasa (19/8/2025).

Meski begitu, ia menambahkan bahwa substansi revisi UU Haji tidak banyak berubah dari isu yang sebelumnya telah disodorkan pemerintah. Saat ini, Komisi VIII tengah menyusun jadwal pembahasan untuk masa sidang berjalan. Sementara itu, Ketua Tim 13 Asosiasi Haji dan Umrah, Muhammad Firman Taufik, menekankan pentingnya menjaga ekosistem industri haji dan umrah yang telah terbentuk sejak lama agar tetap berkelanjutan. “Yang perlu jadi perhatian adalah transparansi dalam pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah,” ucapnya.

Senada, Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj, menilai revisi UU memang diperlukan, mengingat banyak perubahan terjadi di Arab Saudi sebagai tuan rumah. Latar belakang lain juga turut mendorong revisi, mulai dari pengalaman pandemi Covid-19, pembentukan Pansus Haji DPR, hingga keinginan politik Presiden Prabowo Subianto membentuk Badan Penyelenggara Haji. Selain itu, digitalisasi layanan haji dan umrah lewat aplikasi Nusuk di Arab Saudi menuntut regulasi yang lebih responsif.

Menurut Mustolih, ada dua isu krusial yang harus diperhatikan. Pertama, perlindungan bagi jemaah reguler, termasuk kompensasi dan ganti rugi jika layanan konsumsi, akomodasi, atau transportasi tidak terpenuhi. “Uang haji itu murni uang jemaah, bukan dari APBN,” tegasnya. Kedua, perlindungan bagi jemaah furoda, yang kerap gagal berangkat akibat persoalan visa atau kebijakan otoritas Saudi. Mustolih menilai regulasi selama ini terlalu berparadigma Indonesia, padahal 90 persen aktivitas haji berlangsung di Arab Saudi.

Ia juga mengkritik pembagian kuota haji 92 persen reguler dan 8 persen khusus yang diatur dalam UU, karena dalam praktiknya sulit dijalankan. “Jika kuota tidak terserap akibat jemaah sakit, hamil, atau meninggal, maka penyelenggara akan terjebak masalah hukum karena tidak sesuai dengan UU,” pungkas Mustolih.